SINDOTIMES.COM, KUANSING – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau mulai mengurai benang kusut kasus kebun sawit seluas 500 hektar yang dibangun menggunakan APBD Kabupaten Kuansing sebanyak Rp16 miliar.
Kebun sawit yang terletak di Desa Perhentian Sungkai, Kecamatan Pucuk Rantau itu berada di dalam kawasan hutan lindung. Kebun itu awalnya dibangun pada tahun 2002 silam.
Inisiatif pembangunan kebun tersebut menurut sejumlah sumber dikarenakan Kabupaten Kuansing waktu itu masih baru berdiri dan tidak memiliki sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memadai. Sehingga timbul inisiatif untuk membangun kebun sawit untuk menopang penghasilan daerah, kendati pun berada dalam kawasan hutan lindung.
Alasan lain, pembangunan kebun pemda itu guna untuk mengamankan daerah perbatasan atau kawasan penyangga dari serobotan warga dari luar daerah.
Namun sayangnya, rencana awal untuk menjadikan hasil kebun tersebut menjadi sumber pemasukan bagi daerah ternyata diluar ekspektasi. Kendati kebun tersebut telah berbuah tapi tidak bisa mendatangkan PAD, disebabkan karena masih berstatus hutan lindung.
Kesimpulannya, dana yang digelontorkan sebesar Rp16 miliar untuk pembangunan kebun sawit Pemda di Desa Perhentian Sungkai tersebut hanya mubazir, tidak mendatangkan manfaat sama sekali bagi daerah. Dan hanya mendatangkan manfaat bagi sekelompok orang.
Jumat (17/5/2024) kemarin Tim Pidsus Kejati Riau telah menahan Jalunis alias Alun yang mengelolah kebun seluas 500 hektar tersebut. Jalunis diduga telah mendapatkan keuntungan pribadi atas asset milik pemda dengan pengelolaan secara illegal.
Mantan Anggota DPRD Kuansing H Saifullah Afrianto berharap agar penegak hukum mengarah kepada kerugian negara tentang pembangunan kebun dengan uang APBD 16 miliar lebih belum termasuk biaya pemeliharaan dan hasil kebun selama ini.
“Pembangunan kebun Pemda dapat diduga tanpa izin, karena perizinannya belum ada yang statusnya berada dikawasan hutan lindung,” kata Saifullah menjelaskan disalah satu group WhatsApp, Sabtu (18/5/2024).
Menurut priayang akrab disapa Yan Tembak itu menjelaskan terkait kasus kebun Pemda di Desa Perhentian Sungkai setidaknya terdapat tiga item kerugian Negara, diantaranya, pembangunan serta perencanaan dan penganggaran dana APBD seluas 500Ha, sementara kebun yang di bangun sesuai yang ada dilapangan hanya 160 Ha.
“Ada dugaan selisih luasan yang di tanam dengan uang yang di anggarkan untuk biaya pemeliharaannya tidak sesuai dengan luas kebun yang ada dilapangan alias fiktif,” tuturnya.
Kerugian yang kedua, ada dugaan kerugian uang negara di masa perawatan yang di gelembungkan mulai dari tahun 2002 s/d 2013, artinya tanaman sawit hanya berkisar 160 Ha, sementara dana perawatan di anggarkan untuk 500 Ha.
Yang ketiga, diduga ada pelanggaran perizinan yang semestinya perizinan nya harus tuntas dulu barulah Pemda melakukan pencairan anggaran untuk pembangunan kebun. Namun itu tidak dilakukan oleh Pemda Kuansing saat itu. Sehingga pemda patut diduga telah melanggar hokum membangun kebun dalam kawasan hutan lindung.
“ Begitu juga halnya dengan biaya perawatan di wilayah kebun yang telah berizin, sementara yang terjadi sekarang kebun Pemda tidak memiliki izin dapat dikatakan Ilegal, tapi biaya perawatan tetap dipergunakan,” cetusnya.
Persoalan kebun pemda Kuansing itu tidak hanya mendatangkan kerugian secara materil, namun kerusakan lingkungan akibat penebangan hutan secara liar patut juga diperhitungkan.
“ Begitu juga dengan terjadinya kerusakan lingkungan, merambah hutan di kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh serta terjadinya pembalakan yang dapat dikatakan berstatus ilegal alias tanpa izin. Tentu dapat dikatakan Pemda telah menguasai hutan lidung tanpa izin maupun AMDAL sebagai mana mestinya. Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembalakan yang diduga ilegal tentu dapat dihitung besarannya secara akademik oleh lembaga yang berwenang,” pungkas Yan Tembak. (*)