SINDOTIMES.COM, JAKARTA – Ketersediaan tepung terigu di Indonesia kini terancam hanya karena kebijakan pengaturan impor.
Ketua Umum Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franciscus (Franky) Welirang menyebutkan aturan yang termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor dapat mengancam ketersediaan stok tepung terigu secara nasional.
Franky menjelaskan, Permendag itu menetapkan, impor Premiks Fortifikan yang semula hanya dengan LS (Laporan Surveyor), kini menjadi harus dengan Persetujuan Impor (PI) dan LS. Ketentuan baru itu, ujarnya, mengganggu penyediaan Premiks Fortifikan yang dibutuhkan untuk memproduksi tepung terigu.
Sebagai informasi, Premiks Fortifikan adalah fortifikasi tepung terigu yaitu berupa penambahan zat gizi mikro seperti zat besi (Fe), zink (Zn), asam folat, vitamin B1 dan vitamin B2. Bahan ini dibutuhkan untuk memproduksi tepung terigu yang sesuai aturan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Di mana, dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 1/2021 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan Secara Wajib ditetapkan, untuk produksi tepung terigu (HS 1101.00.11 dan Ex. 1101.00.19) wajib memenuhi SNI 3751:2018. Sebenarnya, SNI ini sudah mengalami perubahan 2 kali dengan SNI 3751:2009 menjadi SNI 3751:2018. SNI tepung terigu awalnya diberlakukan lewat Permenperin No 49/2008 yang menetapkan SNI 01-3751-2006 wajib berlaku.
“Ketersediaan Premiks Fortifikan dari setiap anggota kami industri terigu nasional cukup untuk bulan April 2024 sampai dengan bulan Juni 2024. Jika belum ada solusi pengadaan Premiks Fortifikan sampai dengan bulan April ini, hampir bisa dipastikan pasokan tepung terigu nasional akan berkurang lebih dari 50%. Dan pasti berpotensi berdampak kepada kelangkaan tepung terigu, bahkan kenaikan harga tepung terigu di pasar. Kasihan masyarakat kita,” kata Franky dalam keterangan resmi, Rabu (17/4/2024).
Dia menuturkan, produksi industri terigu nasional tahun 2023 sekitar 6,8 juta metrik ton tepung terigu atau setara dengan 8,7 juta metrik ton gandum. Angka ini sama dengan kebutuhan tepung terigu di kisaran 550 ribu – 600 ribu metrik ton per bulan untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan. Sementara kebutuhan akan Premiks Fortifikan (HS 2106.90.73) ada sekitar 1.500-1.800 metrik ton per tahun.
Lebih lanjut, Franciscus mengatakan pihaknya sudah berkirim surat kepada Pemerintah melalui berbagai instansi terkait sejak bulan Maret lalu. Bahkan surat pertama Aptindo langsung ditujukan kepada Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.
“Tapi sampai sekarang, sudah hampir 2 bulan, belum ada balasan. Kami para pelaku industri terigu nasional belum pernah mendapat arahan yang jelas dan pasti, kenapa harus berubah aturan impor pengadaan Premiks Fortifikan ini. Bahkan tidak ada jawaban yang pasti,” tukasnya.
Menurut dia, sekarang ini terdapat jutaan UKM yang bergerak di bidang usaha makanan berbasis tepung terigu. Namun dengan adanya aturan baru terkait impor Premiks Fortifikan ini, sungguh akan mengganggu rantai pasok tepung terigu secara nasional, bahkan sektor usaha UKM.
“Dan yang pasti akan semakin sulit karena prosedur administrasi makin panjang dan butuh waktu lama bisa sampai berbulan-bulan. Sementara produksi tepung terigu harus jalan terus. Kami tidak mungkin memasarkan tepung terigu ke masyarakat tanpa adanya Premiks Fortifikasi,” tegasnya.
Terkait hal itu, pihaknya berharap Pemerintah segera meninjau ulang aturan Permendag 36/2023 tentang pengadaan Premiks Fortifikan.
“Pemerintah harus dan perlu segera membuatkan aturan baru atau pengecualian khusus terkait impor Premiks Fortifikan untuk tepung terigu, karena stok sudah sangat menipis. Bahkan ada yang sudah habis bulan April ini. Jangan sampai Pemerintah melanggar sendiri aturan yang dibuatnya, yakni Aturan Wajib Fortifikasi SNI,” tuturnya. (*)