Janji 19 Juta Lapangan Kerja: Ilusi di Tengah Realitas Ekonomi

Ditulis: Hendri Chaniago.

​Dalam setiap kontestasi politik, janji-janji manis sering kali menjadi bumbu penyedap yang menarik perhatian pemilih. Salah satu janji yang paling sering diumbar adalah penciptaan lapangan kerja dalam jumlah fantastis.

Bacaan Lainnya

Di Indonesia, janji ini telah menjadi magnet elektoral yang kuat, di mana angka-angka besar sering dilontarkan tanpa diiringi penjelasan yang mendalam. Janji 19 juta lapangan kerja, misalnya, telah bergulir di tengah masyarakat, menciptakan harapan sekaligus perdebatan.

Pertanyaannya, apakah angka sebesar itu realistis dan bisa dicapai? Atau, jangan-jangan, itu hanyalah sebuah ilusi yang tidak didasarkan pada data ekonomi yang solid dan realitas di lapangan?

​Untuk memahami mengapa angka 19 juta lapangan kerja terkesan mustahil, kita perlu melihat realitas pasar tenaga kerja saat ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2023, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 146,62 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,45%.

Di balik angka-angka ini, tersimpan tantangan struktural yang tidak bisa diabaikan. ​Pertama, adanya kesenjangan keterampilan (skill mismatch). Banyak lulusan baru, terutama dari pendidikan formal, tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri.

Sementara itu, lapangan kerja di sektor industri padat modal justru membutuhkan keahlian khusus yang tidak mudah didapat. Kedua, dampak Revolusi Industri 4.0 dan kecerdasan buatan (AI) yang mengancam beberapa jenis pekerjaan tradisional, seperti administrasi, manufaktur, dan perbankan.

Ketiga, sebagian besar pertumbuhan lapangan kerja masih didominasi oleh sektor informal, yang menawarkan upah rendah dan tidak memiliki jaminan sosial yang memadai.

​Janji penciptaan 19 juta lapangan kerja dalam satu periode pemerintahan (5 tahun) terkesan tidak masuk akal jika kita mengkajinya secara matematis dan ekonomis. Mari kita bedah alasannya:

Secara historis, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% biasanya menciptakan sekitar 2-3 juta lapangan kerja per tahun. Untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja dalam 5 tahun, rata-rata yang dibutuhkan adalah 3,8 juta lapangan kerja per tahun.

Ini berarti, pertumbuhan ekonomi harus jauh di atas rata-rata historis, mungkin di atas 7-8%, sesuatu yang sulit dicapai tanpa reformasi ekonomi yang sangat fundamental.

Apakah investasi yang masuk ke Indonesia cukup untuk menyerap jutaan tenaga kerja? Data investasi menunjukkan bahwa meskipun terjadi peningkatan, investasi yang masuk tidak selalu bersifat padat karya.

Banyak investasi saat ini lebih bersifat padat modal, seperti pembangunan pabrik dengan otomatisasi tinggi atau investasi di sektor digital. Investasi jenis ini memang meningkatkan produktivitas, tetapi tidak secara langsung menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Struktur ekonomi Indonesia yang didominasi oleh sektor jasa dan pertanian membuat penyerapan tenaga kerja dalam skala besar menjadi tantangan tersendiri. Sektor jasa memang tumbuh pesat, terutama di bidang e-commerce dan ekonomi kreatif, tetapi penyerapan tenaga kerjanya lebih tersebar dan tidak terkonsentrasi di satu sektor besar.
:
Janji 19 juta lapangan kerja menciptakan harapan yang tidak realistis bagi jutaan angkatan kerja baru, terutama kaum muda. Ketika janji ini tidak terealisasi, yang muncul adalah kekecewaan dan apatisme politik yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Janji populis sering kali digunakan untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu ekonomi yang lebih substansial dan sulit, seperti kesenjangan pendapatan, inflasi, dan kualitas pendidikan. Alih-alih membahas solusi konkret, debat publik hanya berkutat pada angka-angka yang membius.

Terakhir, janji-janji yang tidak rasional merusak debat kebijakan yang sehat. Fokus bergeser dari solusi yang berbasis data dan analisis menjadi janji yang hanya menyenangkan telinga. Ini membuka ruang bagi populisme yang berbahaya bagi pembangunan jangka panjang.

​Secara singkat, janji 19 juta lapangan kerja hanyalah sebuah ilusi yang tidak didukung oleh realitas ekonomi, data historis, maupun kapasitas investasi. Angka tersebut lebih berfungsi sebagai alat kampanye daripada target yang dapat dicapai.

​Masyarakat Indonesia, sebagai pemilih, perlu bersikap lebih kritis dan tidak mudah terbuai oleh janji-janji politik yang tidak rasional. Penting untuk menilai program kerja kandidat berdasarkan data, rekam jejak, dan relevansinya dengan tantangan ekonomi nyata.

Pemerintah yang terpilih harus fokus pada kebijakan yang realistis dan berkelanjutan, seperti meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan vokasi yang relevan, menciptakan iklim investasi yang mendukung sektor padat karya, dan secara bertahap menuntaskan masalah struktural di pasar tenaga kerja.

Hanya dengan pendekatan yang berbasis data dan pragmatis, kita bisa mewujudkan masa depan kerja yang lebih baik, bukan hanya sekadar janji manis yang memudar. (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *