Mayoritas Rakyat Kuansing ‘Penonton’ di Tanah Sendiri Akibat Sawit Ilegal”

Ditulis: Hendri Chaniago

Kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) telah lama tersemat pada komoditas utama daerah: kelapa sawit. Dalam narasi ideal, sawit seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi yang merata.

Bacaan Lainnya

Namun, realitas di lapangan jauh dari harapan. Kesejahteraan rakyat Kuansing tidak akan pernah terwujud selama akses terhadap lahan produktif dikuasai oleh segelintir pemodal besar melalui praktik-praktik ilegal dan tanpa prosedur yang benar. Inilah pangkal masalah yang menghambat kemajuan masyarakat Kuansing.

​Penguasaan lahan di Kuansing kini menjadi potret ketidakadilan. Lahan-lahan yang paling strategis dan produktif didominasi oleh perusahaan atau perseorangan dengan modal kuat, seringkali mengabaikan aturan hukum yang berlaku.

​Contoh paling mencolok terlihat di Kecamatan Pucuk Rantau. Di kawasan ini, ribuan hektar yang seharusnya berfungsi sebagai hutan lindung telah dialihfungsikan dan ditanami sawit oleh pemodal. Situasi serupa terjadi di Kecamatan Hulu Kuantan, di mana satu orang pengusaha saja dilaporkan menguasai ratusan hektar tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang sah.

Bahkan, kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Hulu Kuantan kini “punah” dikuasai oleh pemodal, merusak ekosistem sekaligus mengeliminasi hak masyarakat atas sumber daya alam.

​Fakta ini selaras dengan pernyataan mengejutkan dari Bupati Kuansing, Dr. Suhardiman Amby, yang menyebutkan bahwa lebih dari 200 ribu hektar kebun sawit di Kuansing adalah ilegal. Angka fantastis ini menegaskan adanya pelanggaran masif yang menjadi akar kemiskinan dan keterlambatan kemajuan di tengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah.

​Kesenjangan penguasaan lahan ini berimplikasi langsung pada kehidupan sehari-hari rakyat Kuansing. Ketika sawit adalah tumpuan utama, ketiadaan lahan berarti ketiadaan kemandirian ekonomi.

Masyarakat lokal kehilangan kesempatan untuk berkebun, padahal inilah jalur tercepat dan teruji untuk meningkatkan pendapatan mereka.

​Kontrasnya sangat nyata: kemakmuran dinikmati segelintir pemodal, sementara mayoritas masyarakat hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri.

Kondisi inilah yang menyebabkan kehidupan masyarakat Kuansing menjadi lambat maju. Lebih dari sekadar masalah ekonomi, penguasaan lahan secara ilegal, terutama di kawasan hutan lindung dan HPT, adalah bentuk nyata pelanggaran hukum yang turut merusak lingkungan secara permanen.

​Kini adalah saatnya bagi masyarakat Kuansing untuk sadar bahwa kesejahteraan mereka terampas. Masyarakat harus bersatu untuk mengambil kembali lahan-lahan yang telah dikuasai tanpa prosedur oleh pengusaha.

Langkah ini bukan sekadar tuntutan, melainkan syarat mutlak demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan. ​Pemerintah Daerah, sejalan dengan pernyataan tegas Bupati, harus mengimplementasikan tindakan penertiban dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu terhadap seluruh kebun sawit ilegal.

Tindak lanjutnya harus berupa Redistribusi Lahan kepada masyarakat lokal yang berhak, melalui skema yang jelas dan transparan. Audit komprehensif atas seluruh izin dan penguasaan lahan adalah kunci untuk membenahi karut-marut agraria ini.

​Permasalahan lahan sawit ilegal adalah hambatan utama yang mengunci potensi kemakmuran rakyat Kuansing. Data lapangan dan pernyataan resmi menunjukkan bahwa keadilan agraria harus segera ditegakkan.

Kesejahteraan tidak akan terwujud tanpa keberanian bersama untuk merebut kembali hak atas tanah yang telah dikuasai secara tidak prosedural. Hanya melalui penertiban total dan redistribusi lahan yang adil, mimpi tentang Kuansing yang maju dan sejahtera dapat benar-benar menjadi kenyataan.(***)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *